Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, penganggur yang sarjana
telah mencapai lebih dari 600.000. Keadaan ini jauh lebih berbahaya
daripada penganggur yang bukan sarjana karena dapat menimbulkan masalah
sosial.Berbagai upaya telah ditempuh
guna mengatasi hal ini, tetapi tiap tahun angka pengangguran meningkat.
Beberapa pihak lalu mencari kambing hitam penyebab pengangguran massal
tersebut.
Tanggalkan gelar
Masyarakat kita sudah terbius dengan kehausan akan gelar. Setiap orang ingin mempunyai gelar sebanyak mungkin, ada yang melalui pendidikan, ada yang membeli gelar. Seolah seseorang menjadi tidak berharga jika tidak mempunyai gelar. Hanya masyarakat miskin yang tidak mempunyai gelar karena tidak mampu membayar pendidikan dan tidak mampu membeli gelar.
Perguruan tinggi menangkap gejala ini dengan menyediakan berbagai layanan untuk mendapatkan gelar, baik melalui pendidikan sebenarnya maupun seadanya, bahkan dengan menjual gelar. Perguruan tinggi membutuhkan uang, sedangkan masyarakat yang mampu akan rela membayar untuk mendapatkan gelar. Maka, terjadilah perpaduan yang menyesatkan.
Mudahnya memperoleh gelar membuat masyarakat berduyun- duyun "lulus" dari perguruan tinggi dengan menyandang gelar tanpa dibarengi keahlian atau kompetensi. Ketika mencari peluang kerja, mereka tidak memenuhi syarat sehingga terjadilah penganggur bergelar. Seharusnya mereka segera menanggalkan gelarnya karena tidak bermanfaat sama sekali.
Penjenjangan
Perusahaan swasta dan industri menerapkan pola rekrutmen pegawai berdasarkan kemampuan/kompetensi, tidak semata- mata berdasarkan gelar. Para calon pegawai ketat diseleksi secara ketat melalui uji kemampuan/kompetensi disesuaikan jenis pekerjaan yang akan ditangani.
Adapun untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS), seleksi hanya dilakukan terhadap gelar yang dimiliki calon pegawai, tanpa ada uji kemampuan/kompetensi. Karena sebagian besar masyarakat masih amat ingin menjadi PNS, mereka semua memburu gelar dengan berbagai cara, termasuk dengan memalsukan ijazah.
Penjenjangan karier di PNS juga hanya memerhatikan masa kerja dan gelar. Bagi mereka yang sudah bergelar S-2 atau magister akan dapat dipromosi ke golongan lebih tinggi, bahkan bagi mereka yang sudah bergelar S-3 atau doktor dapat dipromosi ke golongan tertinggi. Badan Kepegawaian Negara dan Kantor Menneg PAN menganggap para penyandang gelar itu mempunyai kemampuan memadai. Padahal, kenyataannya mereka hanya memburu gelar melalui berbagai cara, termasuk cara tidak wajar, yaitu membeli gelar atau mengikuti kelas jauh, kelas eksekutif, kelas Sabtu-Minggu, kelas paralel, kelas ekstensi, dan berbagai macam nama lain.
Lengkap sudah kekalutan yang ada di Indonesia ini tentang gelar. Masyarakat amat terbius dengan gelar, pendidikan hanya sebatas formalitas untuk memberi gelar para "lulusan" dan sistem kepegawaian kita terjebak gelar.
Berikan contoh
Bagaimana mengatasi hal ini? Mudah sekali. Mulai hari ini kita semua menanggalkan semua gelar yang tercantum di kartu nama, papan nama, foto, surat menyurat, undangan, panggilan pada acara resmi, dan lainnya.
Mulai hari ini kita semua hanya menggunakan nama masing- masing yang sudah diberikan oleh orangtua sebagai suatu amanah. Nama sudah amat membanggakan seandainya kita memiliki keahlian, sedangkan gelar sama sekali tidak memberi nilai tambah terhadap keahlian. Jika semua orang tidak menggunakan gelar, termasuk para pemimpin, masyarakat akan menjadi lebih realistis dan tidak lagi terbius oleh gelar.
Mudah-mudahan, setelah itu mereka semua mencari keahlian dan perguruan tinggi akan memberi keahlian kepada lulusan, dan akhirnya penganggur bergelar akan berubah menjadi pekerja ataupun pemberdaya yang andal. -- Satryo Soemantri Brodjonegoro Guru Besar Toyohashi University of Technology; Mantan Dirjen Dikti
Sumber: Kompas.com
Tanggalkan gelar
Masyarakat kita sudah terbius dengan kehausan akan gelar. Setiap orang ingin mempunyai gelar sebanyak mungkin, ada yang melalui pendidikan, ada yang membeli gelar. Seolah seseorang menjadi tidak berharga jika tidak mempunyai gelar. Hanya masyarakat miskin yang tidak mempunyai gelar karena tidak mampu membayar pendidikan dan tidak mampu membeli gelar.
Perguruan tinggi menangkap gejala ini dengan menyediakan berbagai layanan untuk mendapatkan gelar, baik melalui pendidikan sebenarnya maupun seadanya, bahkan dengan menjual gelar. Perguruan tinggi membutuhkan uang, sedangkan masyarakat yang mampu akan rela membayar untuk mendapatkan gelar. Maka, terjadilah perpaduan yang menyesatkan.
Mudahnya memperoleh gelar membuat masyarakat berduyun- duyun "lulus" dari perguruan tinggi dengan menyandang gelar tanpa dibarengi keahlian atau kompetensi. Ketika mencari peluang kerja, mereka tidak memenuhi syarat sehingga terjadilah penganggur bergelar. Seharusnya mereka segera menanggalkan gelarnya karena tidak bermanfaat sama sekali.
Penjenjangan
Perusahaan swasta dan industri menerapkan pola rekrutmen pegawai berdasarkan kemampuan/kompetensi, tidak semata- mata berdasarkan gelar. Para calon pegawai ketat diseleksi secara ketat melalui uji kemampuan/kompetensi disesuaikan jenis pekerjaan yang akan ditangani.
Adapun untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS), seleksi hanya dilakukan terhadap gelar yang dimiliki calon pegawai, tanpa ada uji kemampuan/kompetensi. Karena sebagian besar masyarakat masih amat ingin menjadi PNS, mereka semua memburu gelar dengan berbagai cara, termasuk dengan memalsukan ijazah.
Penjenjangan karier di PNS juga hanya memerhatikan masa kerja dan gelar. Bagi mereka yang sudah bergelar S-2 atau magister akan dapat dipromosi ke golongan lebih tinggi, bahkan bagi mereka yang sudah bergelar S-3 atau doktor dapat dipromosi ke golongan tertinggi. Badan Kepegawaian Negara dan Kantor Menneg PAN menganggap para penyandang gelar itu mempunyai kemampuan memadai. Padahal, kenyataannya mereka hanya memburu gelar melalui berbagai cara, termasuk cara tidak wajar, yaitu membeli gelar atau mengikuti kelas jauh, kelas eksekutif, kelas Sabtu-Minggu, kelas paralel, kelas ekstensi, dan berbagai macam nama lain.
Lengkap sudah kekalutan yang ada di Indonesia ini tentang gelar. Masyarakat amat terbius dengan gelar, pendidikan hanya sebatas formalitas untuk memberi gelar para "lulusan" dan sistem kepegawaian kita terjebak gelar.
Berikan contoh
Bagaimana mengatasi hal ini? Mudah sekali. Mulai hari ini kita semua menanggalkan semua gelar yang tercantum di kartu nama, papan nama, foto, surat menyurat, undangan, panggilan pada acara resmi, dan lainnya.
Mulai hari ini kita semua hanya menggunakan nama masing- masing yang sudah diberikan oleh orangtua sebagai suatu amanah. Nama sudah amat membanggakan seandainya kita memiliki keahlian, sedangkan gelar sama sekali tidak memberi nilai tambah terhadap keahlian. Jika semua orang tidak menggunakan gelar, termasuk para pemimpin, masyarakat akan menjadi lebih realistis dan tidak lagi terbius oleh gelar.
Mudah-mudahan, setelah itu mereka semua mencari keahlian dan perguruan tinggi akan memberi keahlian kepada lulusan, dan akhirnya penganggur bergelar akan berubah menjadi pekerja ataupun pemberdaya yang andal. -- Satryo Soemantri Brodjonegoro Guru Besar Toyohashi University of Technology; Mantan Dirjen Dikti
0 komentar:
Posting Komentar