JAKARTA, Buku Sekolah Elektronik (BSE) yang disediakan oleh Depdiknas masih kurang berpengaruh. Menjelang tahun ajaran baru, siswa tetap harus membeli buku cetak pelajaran sekolah yang harganya cukup mahal.
Di sejumlah sekolah swasta, biaya pembelian buku pelajaran tersebut satu paket dengan biaya pendaftaran untuk siswa baru. Adapun untuk siswa yang naik kelas II dan III SMP ataupun SMA, pembelian buku pelajaran tersebut tidak termasuk biaya daftar ulang.
Besarnya biaya pembelian buku tersebut bervariasi, sekitar Rp 450.000-Rp 1,2 juta untuk 14-18 buku pelajaran, serta lembar kerja siswa. Buku-buku yang harus dibeli tersebut umumnya tidak dijual di toko buku sehingga orangtua siswa terpaksa membeli di sekolah.
”Buku yang harus dibeli itu pun tidak termasuk dalam daftar buku sekolah elektronik yang disediakan pemerintah,” kata orangtua siswa yang anaknya masuk sekolah swasta di Tangerang, Banten, Sabtu (4/7).
Ketua Pusat Buku Indonesia Firdaus Oemar mengatakan bahwa buku pelajaran semestinya tidak lagi menjadi persoalan. Pemerintah sudah menyediakan Buku Sekolah Elektronik (BSE) yang tinggal diunduh di internet. Sejumlah BSE juga sudah dibuat versi cetaknya dengan harga eceran tertinggi sangat murah karena hanya sepertiga dari buku pelajaran cetak yang dibuat penerbit.
”Penyediaan BSE ini sangat membantu siswa, orangtua, dan sekolah,” ujarnya.
Bona Warsono, Kepala SMPN 104 Jakarta, mengatakan, dengan adanya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk buku dari pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, sekolah sudah bisa menyediakan buku-buku pelajaran di perpustakaan yang bisa dipinjam siswa selama setahun.
Hentikan penggandaan
Secara terpisah, para penerbit buku pelajaran mengatakan, mereka sudah mulai menghentikan penggandaan buku pelajaran. Hal itu, antara lain, dikarenakan pemerintah menghendaki sekolah menggunakan BSE yang telah dibeli hak ciptanya dan kini dicetak dengan harga eceran tertinggi tertentu.
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Setia Dharma Madjid mengatakan, para penerbit buku pelajaran kini hanya berusaha menghabiskan stok buku yang telah mereka cetak dan tertumpuk di gudang melalui berbagai jalur distribusi, termasuk ke toko buku, pada tahun ajaran ini.
Buku-buku tersebut sudah lulus penilaian Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan berlaku selama lima tahun. Belakangan, pemerintah mengamanatkan sekolah untuk menggunakan buku yang telah dibeli dihak ciptanya.
”Kebijakan pemerintah yang terus berubah membingungkan dan merugikan para penerbit yang sudah telanjur mencetak buku tersebut dengan proyeksi bertahan lima tahun,” tuturnya menjelaskan.
Dia mengatakan, pihaknya sudah dua kali mengajukan surat ke Menteri Pendidikan Nasional mengenai persoalan buku pelajaran tersebut, tetapi belum ada tanggapan. Dia melihat pemerintah tidak adil karena buku tersebut sudah lulus penilaian dan berlaku untuk lima tahun, tetapi tidak bisa dijual. Dari total sekitar 920 anggota Ikapi, sekitar 20 persennya menerbitkan buku pelajaran.
Setia mengatakan, apabila pemerintah ingin menjamin ketersediaan buku pelajaran, sebaiknya memang memberikan subsidi penuh untuk pengadaan buku pelajaran di sekolah sehingga masyarakat benar-benar tak terbebani biaya buku. (ELN/INE)
Sumber: .kompas.com
Rabu, September 16, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar