JAKARTA, KOMPAS.com — Langkah Kepolisian RI
menangkap dan menahan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
nonaktif, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, menuai kecaman keras
dari banyak kalangan masyarakat sipil. Walau diakui hal itu merupakan
hak subyektif kepolisian, banyak kalangan melihat hal itu dilakukan
kepolisian tanpa melihat betapa sensitifnya kasus tersebut di mata
masyarakat. Pasalnya, masyarakat sudah sejak lama muak terhadap praktik
dan perilaku koruptif, terutama yang dilakukan oleh aparat sendiri.
Menurut
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Hikmahanto
Juwana, Kamis (29/10), dirinya yakin apa yang dilakukan Polri tadi
justru hanya akan menyulitkan posisi pemerintahan yang baru saja
terbentuk, terutama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang pastinya
akan mendapat banyak kritik keras dari masyarakat.
“Bukan tidak
mungkin masyarakat menjadi tidak percaya terhadap komitmen Presiden
Yudhoyono memberantas korupsi seperti selama ini dia sampaikan dalam
banyak kesempatan. Sangat disayangkan, apalagi Presiden sendiri sudah
minta kasus ini segera dituntaskan,” ujar Hikmahanto.
Hikmahanto,
yang sejak Agustus 2008 sudah tidak lagi menjabat Dekan FHUI itu,
mengaku juga heran dengan sikap Polri yang sepertinya khawatir dengan
opini publik, yang seolah hal itu bisa dilakukan atau dibentuk melalui
sejumlah pernyataan Bibit dan Chandra selama ini melalui media massa.
Menurut
Hikmahanto, sudah saatnya Presiden Yudhoyono memberi pernyataan dan
arahan yang tegas ke Polri agar institusi itu tidak perlu lagi
menafsir-nafsirkan apa yang dikehendaki Presiden, apalagi mengingat.
Jika sampai salah menafsirkan, malah justru merugikan dan menjatuhkan
citra Presiden Yudhoyono sendiri.
“Jangan sampai publik
mencitrakan Bibit dan Chandra sebagai orang-orang yang dizalimi seperti
pernah terjadi saat Presiden Yudhoyono pertama kali maju mencalonkan
diri menjadi presiden tahun 2004 lalu. Kesalahan yang dilakukan Polri
bukan tidak mungkin menempatkan Bibit dan Chandra malah
berhadap-hadapan langsung dengan Presiden Yudhoyono,” ujar Hikmahanto.
Kecaman
senada juga dilontarkan Saharuddin Daming, salah seorang komisioner
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang memprotes keras
langkah sewenang-wenang Polri menangkap dan menahan Bibit dan Chandra.
Polri, menurut Saharuddin, tidak punya alasan kuat karena kedua
pimpinan KPK nonaktif itu dinilai kooperatif.
“Sama sekali tidak
ada alasan bagi Polri melakukan penahanan. Apa yang dilakukan
kepolisian itu sudah menjadi bentuk pelanggaran HAM yang sangat serius.
Kami di Komnas HAM akan segera berkoordinasi dengan berbagai pihak
terkait lain termasuk soal kemungkinan kami memanggil Kepala Polri,”
ujar Saharuddin saat dihubungi di Makassar.
Saharuddin
menegaskan, Komnas HAM akan segera mengeksaminasi apa-apa yang telah
dilakukan Polri selama ini, terutama soal adanya kemungkinan langkah
yang dilakukan memang sudah sesuai hukum atau memang memiliki
muatan-muatan tertentu. Jika benar terjadi, hal itu tentunya
menunjukkan kemunduran (set back) yang justru dilakukan oleh pemerintah sendiri.
Sudah
seharusnya Polri dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum
menerapkan prinsip hukum yang berdasarkan penegakan HAM dan bukan
didasari seleranya sendiri. Saharuddin melihat banyak kejadian
menunjukkan Polri sudah mengabaikan HAM, terutama dengan semakin
maraknya para pegiat demokrasi dan lembaga antikorupsi yang justru
malah dikriminalisasikan.
Lebih lanjut dalam kesempatan terpisah,
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Muladi meminta Polri
segera menyelidiki orang-orang yang disebut dalam transkrip rekaman,
yang berisi percakapan sejumlah pihak termasuk beberapa petinggi
Kejaksaan Agung RI dan diduga bertujuan merekayasa kasus yang
melibatkan Bibit dan Chandra.
“Memang sebenarnya rekaman itu kan
simpang siur dan tidak jelas, bahkan menyebut nama RI-1. Jadi yang
perlu dikejar adalah orang-orang yang disebut di dalam (transkrip)
situ, terutama yang perempuan itu. Saya kok jengkel sekali dengan dia
itu, ya. Siapa dia sebenarnya, kok terkesan berkuasa sekali mengatur
sistem peradilan di negeri ini dan merendahkan Presiden juga,” ujar
Muladi.
Hal itu disampaikan Muladi seusai membuka dan menjadi pembicara pembuka (keynote speaker) dalam acara uji publik Qanun Jinayat di Aceh, yang digelar Komnas Perempuan di Gedung Lemhannas.
Muladi
menambahkan, aparat intelijen terutama Badan Intelijen Negara (BIN)
harus turun tangan tanpa perlu diperintah lagi untuk mengejar dan
mengungkap orang-orang yang disebut-sebut dalam transkrip tersebut.
Namun, Muladi meminta kepolisian terus melanjutkan kasus Bibit dan
Chandra tanpa perlu terpengaruh transkrip rekaman tadi.
Senin, November 02, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar