JAKARTA, KOMPAS.com - Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU) menengarai adanya proses pemandulan terhadap Komisi
Pemberantasan Korupsi, mulai dari upaya memotong kewenangannya hingga
penahanan pejabatnya yang kini dalam status nonaktif, Bibit Samad
Riyanto dan Chandra M Hamzah.
"Ini tentu ada proses pemandulan
terhadap kelembagaan KPK itu," kata Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi
di Jakarta, Minggu (1/11).
Menurut Hasyim, kondisi seperti itu
tentu memprihatinkan, karena KPK dalam keadaan utuh dan independen saja
sebenarnya belum cukup untuk memberantas korupsi di Indonesia yang
menggurita dan membudaya.
"Apalagi kalau KPK 'dieksekutifkan' melalui perppu, diganti dan diangkat. Bahkan lebih dari itu dipersoalkan," katanya.
Secara
terpisah, Ketua PBNU Masdar F Masudi menilai penahanan Bibit dan
Chandra terkesan sangat dipaksakan. Menurut Masdar Masudi, penahanan
keduanya tidak memiliki landasan yang cukup kuat.
"Penahanan itu
sangat lemah dan terasa sekali sangat dipaksakan. Hanya ada alasan
obyektif yuridis formal. Namun, persyaratan subyektif seperti melarikan
diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi kejahatan lagi, semua
nol besar," katanya.
Menurut Direktur Perhimpunan Pemberdayaan
Pesantren dan Masyarakat itu, penahanan tersebut juga semakin
menyempurnakan keyakinan publik bahwa memang ada upaya untuk
melumpuhkan KPK.
Masdar menilai, pihak yang diuntungkan dengan
gerakan kriminalisasi dan delegitimasi KPK adalah para koruptor dan
orang-orang yang diuntungkan oleh mereka. Siapa pun setuju bahwa
korupsi adalah kejahatan luar biasa.
Masdar berharap seluruh
masyarakat Indonesia berdoa mendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
untuk segera mengambil langkah luar biasa dalam membongkar kejahatan
yang luar biasa dengan instrumen kelembagaan yang juga luar biasa,
seperti KPK.
Sejumlah tokoh masyarakat telah mempertanyakan
penahanan Bibit dan Chandra tersebut dan mendesak Presiden untuk
membentuk tim independen guna meneliti kasus ini.
0 komentar:
Posting Komentar