BAB IV
HASIL VERIFIKASI MELALUI GELAR PERKARA
A. Atas Sangkaan Pasal 12 huruf e juncto Pasal 15 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
1. Kekurangan Fakta dari Penyidik
a.
Tidak ada fakta yang diperoleh penyidik dalam mengkonstruksikan bahwa
Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto telah melakukan pemerasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e UU Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
b. Ketiadaan fakta tersebut
nampak pada ketidakmampuan penyidik di hadapan Tim 8 pada acara gelar
perkara untuk menjelaskan alur penyerahan uang dari Ari Muladi kepada
Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah maupun kepada Ade Raharja
serta berdasarkan keterangan Antasari Azhar, keterangan Ari Muladi, dan
BAP Ari Muladi tertanggal 18 Agustus 2009 (BAP Kedua), dan keterangan
Edy Soemarsono, serta bantahan Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto
c.
Dalam hal Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto sebagai tersangka
membantah telah menerima uang tersebut, mereka tidak berkewajiban
membuktikan bahwa mereka tidak menerima (karena dalam hukum pembuktian,
tidak dikenal pembuktian secara negatif). Justru sebaliknya, beban
pembuktian berada pada pihak yang mendalilkan adanya sangkaan itu,
dalam hal ini penyidik. Namun ternyata penyidik hanya memiliki
keterangan Ari Muladi dan bahan petunjuk yang sangat lemah atau tidak
mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
d. Bahan petunjuk yang sangat
lemah itu hanya berupa adanya mobil KPK yang keluar masuk di Pasar
Festifal dan Hotel Bellagio, yang kemudian dijadikan bukti petunjuk.
Bukti petunjuk demikian adalah sangat lemah karena baru merupakan
sebuah bahan untuk membentuk sebuah bukti. Keterangan tentang mobil KPK
itu harus disesuaikan dengan bahan pembentuk bukti petunjuk yang lain
(keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa). Kalau keterangan Ari
Muladi digunakan sebagai bahan, maka jelas sangat lemah atau tidak
dapat digunakan karena keterangan Ari Muladi merupakan upaya pembelaan
diri bagi Ari Muladi.
2. Lemahnya Bukti yang digunakan oleh Penyidik
a.
Untuk menentukan seseorang telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf e dan Pasal 15 UU Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, maka yang harus dibuktikan adalah apakah unsur-unsur
Pasal 12 huruf e dan Pasal 15 itu terpenuhi atau tidak. Unsur-unsur
pasal tersebut adalah:
1) Pegawai negeri atau penyelenggara;
2) Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaanya;
3) Memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran
dengan potongan; atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
Sedangkan unsur-unsur Pasal 15 adalah:
1) Setiap orang;
2) Melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi;
b.
Dalam pemeriksaan oleh Tim 8, ternyata penyidik tidak memiliki cukup
bukti untuk membuktikan unsur menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum.
Karena alat bukti yang dimiliki penyidik
tentang aliran uang dari Anggoro Widjojo terhenti di Ari Muladi
(missing link). Alat bukti untuk membuktikan unsur percobaan,
pembantuan, atau permufakatan jahat juga tidak dimiliki penyidik.
c.
Keterangan Edi Soemarsono dan Antasari Azhar merupakan keterangan yang
diperoleh dari orang lain (testimonium de auditu), oleh karenanya tidak
dapat dipakai sebagai alat bukti (185) ayat (1) KUHAP) juncto Pasal 1
angka 27 KUHAP. Disamping itu juga, keterangan Edy Soemarsono merupakan
pendapat atau rekaan yang diperoleh dari pemikiran sendiri, berdasarkan
cerita orang lain yang tidak dapat digunakan sebagai keterangan saksi
(Pasal 185 ayat (5) KUHAP).
d. Keterangan Ari Muladi mengenai
penyerahan uang itu, kalaupun benar, juga merupakan keterangan yang
berdiri sendiri, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti
(unus testis nullus testis), satu saksi bukanlah saksi; terlebih
keterangan tersebut sudah dicabut. Alat bukti berupa petunjuk yang
dimiliki penyidik juga tidak berdasar karena hanya berdasarkan asumsi
saja, tidak berdasarkan pada rangkaian keterangan dari saksi-saksi yang
ada.
e. Hal yang terungkap di hadapan Tim 8 justru inisiatif
pemberian uang berasal dari Anggoro Widjojo yang kemudian meminta
bantuan Anggodo Widjojo menghubungi KPK terkait penggeledahan PT.
Masaro. Dengan demikian, yang terjadi adalah percobaan penyuapan, bukan
pemerasan sebagaimana didalilkan oleh Anggoro Widjojo/Anggodo Widjojo.
Oleh karena itu Anggoro Widjojo, Anggodo Widjojo dan Ari Muladi harus
dijadikan tersangka karena mencoba menyuap kedua tersangka. Ari Muladi
juga dapat dikenai pasal penipuan dan/atau penggelapan (kumulatif).
Berdasarkan
uraian di atas, maka tidak ada pidana bagi Chandra M. Hamzah dan Bibit
S. Rianto, karena yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan pidana
(nulla poena sine crimine).
B. Atas Sangkaan atas Pasal 421 KUHP juncto Pasal 23 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
1. Kekurangan Fakta dari Penyidik
a.
Tidak ada fakta yang diperoleh penyidik dalam mengkonstuksikan bahwa
Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto telah melakukan penyalahgunaan
wewenang atau kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 421 KUHP
juncto Pasal 23 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
b. Di
hadapan Tim 8, pada acara gelar perkara, penyidik tidak memiliki cukup
bukti yang membuktikan Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto memaksa
pejabat imigrasi untuk mencegah Anggoro Widjojo berpergian keluar
negeri dan memaksa pejabat imigrasi untuk mencabut pencegahan
berpergian ke luar negeri atas nama Joko S. Tjandra.
c. Pimpinan KPK
di hadapan Tim 8 menjelaskan bahwa pencegahan Anggoro Widjojo dan
pencabutan pencegahan Joko S. Tjandra telah sesuai dengan mekanisme
yang ada dan telah berlangsung sejak pimpinan KPK periode pertama.
2. Lemahnya Bukti yang digunakan oleh Penyidik
a.
Dalam membuktikan apakah seseorang telah melakukan perbuatan pidana
penyalahgunaan kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 421 KUHP
juncto Pasal 23 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka yang harus
dibktikan adalah unsur-unsur dalam pasa-pasal tersebut. Unsur-unsur
Pasal 421 KUHP adalah:
1) Pejabat;
2) Menyalahgunakan kekuasaan;
3) Memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu.
Sedangkan
pasal 23 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat ketentuan pidana
minimal dan pidana maksimal bagi yang melanggar Pasal 421 KUHP. Dengan
demikian, yang harus penyidik/penuntut umum buktikan adalah unsur-unsur
Pasal 421 KUHP.
b. Alat bukti yang dimiliki penyidik dalam
menjerat Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto atas dugaan
penyalahgunaan kekuasaan sangat lemah karena tidak ada saksi-saksi yang
menerangkan bahwa ada unsur “memaksa” dalam pencegahan perpergian
keluar negeri atas nama Anggoro Widjojo dan pencabutan pencegahan
berpergian keluar negeri atas nama Joko S. Tjandra.
c. Dalam
memeriksa Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto, Penyidik hanya
mendasarkan pada penilaian bahwa pencegahan bepergian keluar negeri
atas nama Anggoro Widjojo dan pencabutan pelarangan perpergian keluar
negeri atas nama Joko S. Tjandra melanggar prinsip kolektif kolegial;
status Anggoro Widjojo belum tersangka; dan terhadap Anggoro Widjojo
belum dilakukan penyelidikan/penyidikan terlebih dulu, sehingga
dirumuskan telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan/wewenang.
Terhadap
prinsip pengambilan keputusan yang bersifat kolektif-kolegial, pimpian
KPK pada 5 November 2009 telah menjelaskan kepada Tim 8 antara lain
bahwa KPK telah memiliki mekanisme yang ditetapkan secara internal
tentang pelaksanaan musyawarah antar pimpinan sebagai realisasi kepada
putusan yang sifatnya kolektif itu. Karena KPK diberikan kewenangan
juga mengatur sendiri mekanisme dalam menetapkan kebijakan sebagaimana
yang diatur dalam pasal 25 ayat (2) UU KPK.
Hal tersebut telah
berlangsung sejak pimpinan KPK pada periode pertama. Selain itu, ada
konvensi atau kesepakatan di internal KPK bahwa pencegahan berpergian
cukup dilakukan oleh komisioner yang membawahi tugas tersebut. Dan itu
sudah diatur pula dalam Surat Keputusan Pimpian KPK No.
KEP-447/01/XII/2008 tentang Perubahan Keputusan Pimpinan KPK No.
KEP-33/01/I/2008 tentang Pembagian Tugas Pimpinan KPK Periode tahun
2007-2011.
d. Terhadap pelarangan perpergian keluar negeri atas
nama Anggoro Widjojo yang berstatus sebagai tersangka. Pasal 12 ayat
(1) huruf b UU KPK tegas menyatakan bahwa “dalam melaksanakan tugas
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 6 huruf c, KPK berwenang memerintahkan kepada instansi terkait
untuk melarang seseorang berpergian ke luar negeri.” Kata
“penyelidikan” dan “seseorang” pada rumusan pasal tersebut menunjukan
bahwa KPK berwenang memerintahkan instansi terkait (imigrasi) untuk
mencegah seseorang berpergian ke luar negeri apapun status orang itu,
asalkan terkait
dengan perkara korupsi yang sedang diselidiki KPK.
Oleh karena itu, pencegahan seseorang oleh KPK tidak harus berstatus
tersangka.
e. Terkait dengan Anggoro Widjojo, pencegahan yang
bersangkutan berpergian ke luar negeri karena KPK sedang menangani
perkara lain yakni, kasus Yusuf Erwin Faisal dan sudah incracht). Dalam
perkara itu, Anggoro menyuap Yusuf Erwin Faisal dan pejabat di
Departemen Kehutan (MS Kaban). Tindakan penyidik mengkaitkan
keterlambatan penanganan kasus Masoro dengan utang jasa Chandra M.
Hamzah terhadap MS Kaban sangat tidak berdasar.
f. Pencabutan
pencegahan atas nama Joko S. Tjandra juga tidak menyalahi ketentuan
karena KPK sedang menyelidiki keterkaitan antara aliran uang dari PT.
Mulia Graha Tatalestari sebesar 1 US$ kepada Urip Tri Gunawan-Artalyta
Suryani. Dalam persidangan, tidak ditemukan keterlibatan Joko S.
Tjandra dalam perkara suap Artalyta Susryani kepada Urip Tri Gunawan
sehingga KPK mencabut pencegahan berpergian ke luar negeri tersebut.
Berdasarkan hal-hal di atas, tidak cukup bukti bahwa kedua tersangka melakukan
penyalahgunaan kekuasaan/wewenang sebagaimana yang dituduhkan oleh Penyidik.
Rabu, November 18, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar