JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menegaskan, dirinya adalah seorang konstitusionalis, yang
patuh pada hukum dan ketentuan perundang-undangan. Oleh sebab itu, ia
akan menghormati dan mematuhi keputusan sela/provisi Mahkamah
Konstitusi (MK) dengan segera memberhentikan tetap sampai dengan adanya
keputusan definitif MK.
Keputusan sela/provisi itu menetapkan
Presiden Yudhoyono tidak bisa memberhentikan secara tetap Wakil Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi (nonaktif), Chandra M Hamzah dan Bibit
Samad Rianto, meski keduanya nanti berstatus terdakwa. Presiden
Yudhoyono harus menunggu putusan MK terkait dengan uji materi Pasal 32
Ayat (1) Huruf c Undang-Undang No 30 Tahun 2020 tentang KPK.
Hal
itu disampaikan Presiden Yudhoyono, saat menjawab pers, ketika
memberikan penjelasan terkait dengan penahanan dua pimpinan KPK di
Kantor Presiden, Kompleks Istana, Jakarta, Jumat (30/10) sore. Dalam
penjelasannya, Presiden Yudhoyono hanya ditemani Menteri Sekretaris
Negara Sudi Silalahi, Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal, dan
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana.
"Saya tahu,
ada putusan sela. Saya akan menghormati dan mematuhi sampai adanya
hasil dari keputusan MK. Kalau keputusan uji materi itu diterima, dan
tidak boleh langsung diberhentikan tetap dan hanya diberhentikan
sementara, ya, saya akan mengikuti. Kalau diberhentikan tetap pun, saya
akan mengikuti. Saya ini seorang kontitusionalis, yang patuh hukum.
Oleh karena itu, saya tunggu putusan MK," tandas Presiden.
Menjawab
pertanyaan bahwa keputusan sela MK itu bisa memenjarakan Presiden
Yudhoyono untuk mengeluarkan keputusan berikutnya terkait pemberhentian
tetap kedua pimpinan KPK setelah adanya peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (perppu) sebelumnya, Presiden meminta pers tidak
mencampuradukkan perppu dengan kewenangan Presiden.
"Kewenangan
Presiden mengeluarkan perppu itu ada dalam UUD. Perppu dikeluarkan
dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Sebelum mengeluarkan perppu,
kita sudah menelaah dengan kejadian di KPK, yaitu abstainnya pimpinan
KPK dalam waktu lama yang dinilai akan mengganggu kinerjanya,"
tambahnya.
Dikatakan Presiden, "Meskipun itu kewenangan saya,
kewenangan konstitusional saya, saya berkomunikasi dengan pimpinan
lembaga negara untuk mencari solusi terbaik agar pemberantasan korupsi
tidak berhenti. Jadi, konteksnya tidak lantas Presiden melakukan
sesuatu akan 'terpenjara'. Tidak, itu hak konstitusional saya."
Perbedaan UU KPK
Menurut
Presiden, pihaknya pernah bertanya perihal pemberhentian sementara itu.
"Yang saya tahu yang berlaku di lingkungan pemerintah, kalau seseorang
dinyatakan sebagai tersangka, itu belum ada sanksi administratif. Akan
tetapi, begitu seseorang dinyatakan sebagai terdakwa, seperti contohnya
seorang gubernur, maka saya memberhentikan sementara setelah menjadi
terdakwa," paparnya.
Namun, lanjut Presiden, setelah yang
bersangkutan dinyatakan tidak bersalah di pengadilan maka pihaknya
mengaktifkan kembali dan merehabilitasi namanya.
"UU KPK
tampaknya berbeda. Baru menjadi tersangka, seseorang itu harus sudah
diberhentikan sementara. Begitu menjadi terdakwa maka ia diberhentikan
secara tetap. Itu amanah UU, itulah yang dulu menyangkut Pak Antasari
Azhar. Karena beliau dinyatakan sebagai terdakwa dan kemudian
dimintakan kepada saya untuk diberhentikan maka saya jalankan amanah UU
itu," demikian Presiden.
Senin, November 02, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar