Senin, November 02, 2009

Pasar Terpengaruh Kisruh KPK


JAKARTA, KOMPAS.com-Kasus Bank Century dan upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi diindikasikan telah memengaruhi pasar uang dalam negeri. Indonesia semakin dicirikan sebagai negara yang menjadi surga bagi permainan uang panas.
”Kasus Bank Century dan pelemahan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menunjukkan tak adanya kepastian hukum. Akibatnya, investor semakin berani bermain uang panas di pasar modal Indonesia,” kata Yanuar Rizky, pengamat pasar modal, di Jakarta, Minggu (1/11).
Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Profesional Madani Ismed Hasan Putro di Jakarta mengatakan, penahanan Bibit Rianto dan Chandra M Hamzah secara sewenang-wenang oleh polisi tidak hanya melukai rasa keadilan masyarakat, tetapi secara nyata telah pula berdampak pada memburuknya iklim investasi Indonesia.
”Saya mendapat telepon dari beberapa investor di luar negeri yang mempertanyakan langkah arogan polisi. Mereka berniat menarik atau membatalkan investasinya karena khawatir zaman Orde Baru yang sewenang- wenang terhadap hukum akan terulang kembali,” kata Ismed.
Uang panas
Yanuar mengatakan, indikasi menguatkan permainan uang panas itu terlihat dari terus bertambahnya kerentanan (volatilitas) kurs dalam indikator pasar uang dalam beberapa bulan terakhir. ”Harga saham juga dimainkan lebih dalam untuk mendapat selisih kurs (untuk sedot devisa) lebih tinggi,” katanya.
Permainan saham ini, menurut Yanuar, sebenarnya bisa dipidanakan. Namun, di negara yang tanpa konsistensi hukum melawan korupsi, hal ini tak pernah disentuh.
”Bahkan, Century yang jelas pemain hot money hanya dihukum ringan dan penanganan hukumnya dilindungi bail out pemerintah. Hot money adalah deal panas koruptor dengan kekuasaan melalui mekanisme pasar,” ujarnya.
Ketidakpastian hukum ini, menurut Yanuar, sangat diinginkan oleh pemain yang ingin mengambil untung dengan memainkan uang panas. ”Di sisi lain, orang semakin malas investasi ke sektor riil. Biaya bunga juga terus membesar karena bank tergoda menanamkan uangnya di pasar kurs,” lanjutnya.
Kondisi ini, ujar Yanuar, bisa dilihat dengan membandingkan saat penurunan bunga acuan Bank Indonesia (BI) Rate 2006 dengan saat ini.
”Pada tahun 2009 BI Rate elastisitasnya ke penurunan bunga kredit dan alokasi kredit lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2006 (BI Rate 12,5 persen). Itu juga ukuran, ke sektor riil, investor (bahkan bank kita sendiri) semakin malas mengucurkan kredit dan asyik di hot money,” katanya.
BI Rate kini berada pada 6,5 persen, sementara bunga kredit berkisar di atas 15 persen.
Ismed menegaskan, jika situasi antara KPK dan polisi tersebut terus bergulir dan dibiarkan saja oleh presiden, dampaknya akan sangat membahayakan perekonomian Indonesia ke depan.
”Terbukti, Rembuk Nasional yang diharapkan sebagai langkah awal pemerintah memacu perekonomian tidak mendapat respons memadai akibat langkah blunder polisi,” ujar Ismed berkaitan dengan Rembuk Nasional pada 29-30 Oktober yang menyangkut langkah kebijakan ekonomi, kesejahteraan, dan politik Indonesia lima tahun ke depan.
Menurut Ismed, investasi asing dan domestik yang sangat dibutuhkan Indonesia diyakini tak akan terjadi karena semua investor akan wait and see, menunggu langkah konkret presiden menangani arogansi polisi. Padahal, pemerintah membutuhkan investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 7 persen guna bisa menekan angka pengangguran. (FAJ/AIK)

0 komentar:

Menurut anda, haruskah pemerintah menaikkan harga BBM?

 
© free template by uniQue menu with : CSSplay photo header : pdphoto