JAKARTA, KOMPAS.com-Kasus Bank Century dan upaya
pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi diindikasikan telah memengaruhi
pasar uang dalam negeri. Indonesia semakin dicirikan sebagai negara
yang menjadi surga bagi permainan uang panas.
”Kasus Bank Century
dan pelemahan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menunjukkan tak adanya
kepastian hukum. Akibatnya, investor semakin berani bermain uang panas
di pasar modal Indonesia,” kata Yanuar Rizky, pengamat pasar modal, di
Jakarta, Minggu (1/11).
Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat
Profesional Madani Ismed Hasan Putro di Jakarta mengatakan, penahanan
Bibit Rianto dan Chandra M Hamzah secara sewenang-wenang oleh polisi
tidak hanya melukai rasa keadilan masyarakat, tetapi secara nyata telah
pula berdampak pada memburuknya iklim investasi Indonesia.
”Saya
mendapat telepon dari beberapa investor di luar negeri yang
mempertanyakan langkah arogan polisi. Mereka berniat menarik atau
membatalkan investasinya karena khawatir zaman Orde Baru yang sewenang-
wenang terhadap hukum akan terulang kembali,” kata Ismed.
Uang panas
Yanuar
mengatakan, indikasi menguatkan permainan uang panas itu terlihat dari
terus bertambahnya kerentanan (volatilitas) kurs dalam indikator pasar
uang dalam beberapa bulan terakhir. ”Harga saham juga dimainkan lebih
dalam untuk mendapat selisih kurs (untuk sedot devisa) lebih tinggi,”
katanya.
Permainan saham ini, menurut Yanuar, sebenarnya bisa
dipidanakan. Namun, di negara yang tanpa konsistensi hukum melawan
korupsi, hal ini tak pernah disentuh.
”Bahkan, Century yang jelas
pemain hot money hanya dihukum ringan dan penanganan hukumnya
dilindungi bail out pemerintah. Hot money adalah deal panas koruptor
dengan kekuasaan melalui mekanisme pasar,” ujarnya.
Ketidakpastian
hukum ini, menurut Yanuar, sangat diinginkan oleh pemain yang ingin
mengambil untung dengan memainkan uang panas. ”Di sisi lain, orang
semakin malas investasi ke sektor riil. Biaya bunga juga terus membesar
karena bank tergoda menanamkan uangnya di pasar kurs,” lanjutnya.
Kondisi
ini, ujar Yanuar, bisa dilihat dengan membandingkan saat penurunan
bunga acuan Bank Indonesia (BI) Rate 2006 dengan saat ini.
”Pada
tahun 2009 BI Rate elastisitasnya ke penurunan bunga kredit dan alokasi
kredit lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2006 (BI Rate 12,5
persen). Itu juga ukuran, ke sektor riil, investor (bahkan bank kita
sendiri) semakin malas mengucurkan kredit dan asyik di hot money,”
katanya.
BI Rate kini berada pada 6,5 persen, sementara bunga kredit berkisar di atas 15 persen.
Ismed
menegaskan, jika situasi antara KPK dan polisi tersebut terus bergulir
dan dibiarkan saja oleh presiden, dampaknya akan sangat membahayakan
perekonomian Indonesia ke depan.
”Terbukti, Rembuk Nasional yang
diharapkan sebagai langkah awal pemerintah memacu perekonomian tidak
mendapat respons memadai akibat langkah blunder polisi,” ujar Ismed
berkaitan dengan Rembuk Nasional pada 29-30 Oktober yang menyangkut
langkah kebijakan ekonomi, kesejahteraan, dan politik Indonesia lima
tahun ke depan.
Menurut Ismed, investasi asing dan domestik yang
sangat dibutuhkan Indonesia diyakini tak akan terjadi karena semua
investor akan wait and see, menunggu langkah konkret presiden menangani
arogansi polisi. Padahal, pemerintah membutuhkan investasi untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi 7 persen guna bisa menekan angka
pengangguran. (FAJ/AIK)
Senin, November 02, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar