SOLO, KOMPAS.com — Langkah kepolisian menahan dua
pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (nonaktif), Bibit Samad Rianto
dan Chandra Hamzah, terus menuai kritik dari berbagai kalangan. Selain
alasan yang digunakan dinilai tidak kuat, penahanan tersebut lebih
dinilai sebagai bentuk kepanikan pihak kepolisian.
"Menurut
saya, penahanan itu lebih memperlihatkan kepanikan polisi, yang
berkaitan dengan terbongkarnya rekaman dan transkrip yang beredar di
masyarakat," ujar Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI)
Boyamin Saiman, di Solo, Jumat (30/10) malam.
Ia menilai,
kepanikan polisi tersebut terlihat karena penahanan terhadap Bibit dan
Chandra baru dilakukan sekarang. Mestinya, jika polisi berniat menahan
keduanya, hal itu sudah dilakukan sejak dulu, yakni sejak pertama kali
Bibit dan Chandra dipanggil dan tidak hadir.
Boyamin menyatakan,
jika alasan yang dipakai polisi saat menahan Bibit dan Chandra karena
alasan undang-undang, itu patut dipertanyakan lebih lanjut. "Kalau
alasan undang-undang mereka ditahan karena dikhawatirkan mengulangi
perbuatan, pertanyaannya perbuatan apanya yang akan diulangi, wong mereka sudah dinonaktifkan dari pimpinan KPK," ujarnya.
Demikian
juga kalau alasan menghilangkan barang bukti. Alasan ini juga
dipertanyakan karena keduanya sudah tidak menjabat pimpinan KPK.
Sedangkan kalau dikhawatirkan melarikan diri, itu terlalu berlebihan
karena keduanya sudah dicekal.
"Alasan penahanan berdasarkan
undang-undang memang ada, tetapi mandatnya tidak ada. Penahanan ini
lebih pada bentuk arogansi kekuasaan politik semata-mata," ujarnya.
Menurut
Boyamin, perseteruan antara KPK dan Polri seharusnya mendapat perhatian
khusus dari Presiden agar tidak berlarut-larut dan semakin memperburuk
kondisi penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Senin, November 02, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar